Pada tahun 1845, J.F. Ferrier menetapkan dua cabang filsafat, yaitu ontologi dan epistemologi. Yang pertama mengkaji wujud, hakikat dan metafisika, sedangkan yang kedua mengkaji secara sistematik sifat, sumber dan validitas pengetahuan. Dengan kata lain, secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika ontologi mengkaji sesuatu, maka epistemologi mengulas cara pengkajiannya. Menurut Mulyadhi Kartanegara, ada dua pertanyaan yang tak pernah bisa dilepaskan dari epistemologi, yaitu: (1) apa yang dapat diketahui, dan (2) bagaimana mengetahuinya.
Mungkin banyak orang yang tidak percaya bahwa dalam perdebatan dalam kajian filsafat mengenai apa yang dapat diketahui manusia (atau apakah manusia bisa mengetahui) begitu seru dan telah melahirkan begitu banyak teori. Kalau mau berpikir sederhana, tentu saja manusia bisa mengetahui. Selain akal menjadi kehilangan makna, kita pun akan mulai mempertanyakan segala hal yang sudah kita ketahui dan maknai, terutama sekali hakikat diri dan hidup kita ini.
Jika mempertanyakan mengenai hal-hal yang bisa diketahui manusia, tentu kita membicarakan masalah kebenaran, karena pengetahuan manusia memang tujuannya untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Orang yang tak bisa membedakan antara pedal rem dan pedal gas tidak bisa dikatakan memiliki pengetahuan tentang kendaraan. Begitu juga orang yang tak tahu cara menggunakan stetoskop tentu sulit untuk bisa dipercaya sebagai dokter. Oleh karena itu, tema “kebenaran” menjadi isu yang sangat sentral dalam filsafat. Apa itu kebenaran? Bagaimana menentukan kebenaran? Semua pertanyaan berkembang, tapi pangkalnya adalah: apakah kebenaran itu ada?
Socrates, Plato dan Aristoteles, misalnya, yang mewakili arus pemikiran Yunani kuno, juga telah berbenturan dengan masalah kebenaran ini. Kalau kebenaran itu mutlak, dan semua orang mengetahuinya, tentu tak ada manusia yang berdebat. Pada kenyataannya, perdebatan manusia itu sama tuanya dengan usia peradaban manusia. Berdebat sekuat apa pun, seilmiah apa pun, akan ada saja perbedaan pendapat. Kebanyakan debat malah hanya menghasilkan ‘kesepakatan untuk tidak sepakat’. Oleh karena itu, ketiga tokoh ini berpendapat bahwa kebenaran itu ada yang relatif, namun mereka juga tak menampik adanya kebenaran yang berlaku umum secara mutlak.
Protagoras yang mewakili kaum Sophist memiliki pemikiran yang lain lagi. Pemikir yang satu ini termasyhur karena kata-katanya: “Man is the measure of all things.” (manusia adalah ukuran bagi segala sesuatunya). Dengan kata-kata ini, Protagoras hendak mengatakan bahwa ukuran bagi kebenaran adalah manusia itu sendiri. Artinya, manusia tak perlu lagi ‘mencari’ kebenaran, karena sebenarnya manusia itulah yang menentukan kebenarannya sendiri.
Pemikiran kaum Sophist masih dianut orang hingga kini dan melahirkan arus pemikiran yang disebut “relativisme”. Dalam pola pikir yang relativistik ini, semua kebenaran dianggap relatif tanpa kecuali. Karena kebenaran ditentukan oleh manusia, dan yang dimaksud “manusia” adalah seluruh spesies Homo Sapiens tanpa kecuali, maka kebenaran menjadi ‘hak privat’ dari masing-masing individu, dan sifatnya menjadi relatif seluruhnya.
Kaum beragama yang coba-coba bersikap relativistik berusaha keras mencarikan pembenarannya, kalau perlu dari kitab sucinya masing-masing. Tembok tinggi yang menghadang mereka adalah klaim kebenaran dari agamanya sendiri. Setiap agama mengaku sebagai yang paling benar. Bagaimana menyelaraskannya dengan prinsip relativisme? Untuk itulah dibangun konsep pluralisme dengan berbagai variannya. Kebenaran mutlak itu ada, hanya saja yang dipahami oleh manusia (dan agamanya masing-masing) adalah kebenaran-kebenaran yang sifatnya relatif. Wahyu Tuhan itu adalah kebenaran mutlak, namun dipahami oleh akal manusia secara terbatas, dan karenanya, pemahaman manusia akan senantiasa bersifat relatif. Mereka pun menarik garis tegas antara “agama” dan “pemahaman agama”. Ironisnya, semuanya mereka masukkan dalam kategori yang kedua, sehingga yang pertama menjadi benda abstrak yang tak pernah dikenal orang.
Relativisme juga telah ‘memakan korban’ yang lain. John Milton, misalnya, pernah berseteru dengan pemerintah negerinya sendiri lantaran sebuah brosur buatannya yang dianggap terlalu provokatif. Menurut Milton, isi brosurnya adalah semata-mata pendapatnya pribadi, sedangkan pendapat individu yang berbeda-beda adalah modal bagi kesatuan bangsa. Untuk menggali kebenaran, harus dengan merujuk pada pendapat banyak orang, bukan segelintir orang. Milton pun menjelaskan bahwa yang akan menentukan kebenaran adalah pendapat mayoritas. Namun meski mayoritas telah bersuara, masing-masing individu dibebaskan untuk menemukan kebenarannya sendiri-sendiri. Akan tetapi, Milton juga percaya bahwa jika fakta-fakta dibiarkan telanjang, maka kebenaran akan mengalahkan kebatilan dalam sebuah kompetisi terbuka. Tentu saja, dilema John Milton ini membuat kita bertanya-tanya; apakah kebenaran itu ditentukan oleh pendapat individu, pendapat mayoritas, atau hanya bisa ditemukan dari sebuah kompetisi terbuka? Perlu diberi catatan di sini bahwa pilihan terakhir yang melibatkan kompetisi terbuka pada hakikatnya sama saja dengan mengatakan bahwa kebenaran mutlak itu tidak ada, karena sebenarnya kompetisi opini itu selalu terbuka. Dengan demikian, kebenaran pun tak pernah selesai dirumuskan.
Kebingungan yang dihasilkan oleh ideologi relativisme ini kemudian melahirkan pola pikir skeptisisme yang meragukan kebenaran dan membenarkan keraguan. Bagi mereka, keraguan adalah hal yang wajar muncul di awal setiap kajian, dan keraguan identik dengan sikap kritis. Oleh karena itu, orang-orang yang begitu yakin pada sesuatu hal (termasuk iman pada agamanya sendiri) akan dianggap jumud, tidak kritis, tidak progresif, tidak kreatif dan tidak intelek. Sebaliknya, mereka yang senantiasa ragu justru dianggap cerdas dan ilmiah. Begitu hebatnya pengaruh skeptisisme ini sehingga ada seorang profesor terkenal di Barat yang selalu mengawali jawabannya dengan kata-kata “I don’t know”. Tentu saja, situasi menjadi canggung ketika seorang cendekiawan Muslim menghampirinya dan berkata, “So what DO you know, professor?”.
Di jaman edan ini, modern saja tidak cukup. Maka manusia pun mulai meninggalkan modernisme dan mengusung aliran pemikiran baru yang disebutnya post-modernisme. Kaum ‘posmo’ ini melangkah lebih jauh dari skeptisisme, yang sebenarnya masih mengakui adanya kebenaran, namun selalu meragukan pengetahuan manusia akan kebenaran itu. Menurut aliran post-modernisme ini, kebenaran itu tidak ada, sebagaimana kebatilan itu pun tidak ada. Oleh karena itu, pembicaraan tentang kebenaran menjadi suatu hal yang tidak relevan di Barat sekarang ini. Mereka yang membicarakan soal kebenaran akan dianggap ‘sok suci’ dan semacamnya. Kalau berani bicara kebenaran, pasti akan dituduh menebar klaim kebenaran. Tidak boleh ada yang merasa benar, karena hal yang demikian itu dianggap tidak toleran. Kebenaran itu sendiri terlalu diskriminatif, karena mendiskriminasi hal-hal yang disebut sebagai “kebatilan”. Mungkin karena kekhawatiran yang sangat besar akan sikap diskriminatif inilah maka seorang pentolan Islam liberal di Indonesia menyatakan keinginannya untuk ‘menyerap energi kesalehan dan energi kemaksiatan sekaligus’. Tak ada yang ingin dimasukkan dalam kelompok ‘kebatilan’; semuanya ingin dianggap benar. Karena semuanya ingin disebut benar, maka istilah “kebenaran” itu menjadi tak bermakna lagi.
Bagi seorang Muslim, masalah tentang adanya kebenaran mutlak dan dimungkinkannya pengetahuan tentang kebenaran mutlak itu bagi manusia sudah terjawab tuntas. Jika kita membuka lembaran awal mushhaf, kita akan temukan sebuah ayat yang menuntun kita untuk memohon ditunjukkannya jalan yang lurus: ihdina ash-shiraath al-mustaqiim. Di lembaran berikutnya, kita akan langsung temukan jawaban Allah SWT: dzaalika al-kitaabu laa rayba fiihi, hudan li al-muttaqiin. Kebenaran atau jalan yang lurus itu ada. Kita memohon kepada Allah, karena sumber kebenaran itu adalah dari Allah. Maka Allah pun berkenan menurunkan Kitab Suci Al-Qur’an yang tiada diperdebatkan lagi kebenarannya. Yang kita mohonkan adalah pengetahuan untuk mengenali kebenaran, dan yang Allah turunkan adalah petunjuk untuk mendapatkan pengetahuan tersebut. Jadi, kebenaran itu ada, manusia dapat memahaminya, dan kebenaran itu bersumber dari Allah SWT. Jelas, sederhana dan masuk akal!
Source: http://fimadani.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar