Senin, 09 Juli 2012

Dulu Tukang Becak, Kini Punya 10 Mobil dan 2 Pabrik


Bertahun-tahun lamanya Sanim menggantungkan nasib pada sebuah becak yang dimilikinya. Kini nasibnya berubah, ia menjadi jutawan dengan dua pabrik, tiga rumah, 10 mobil, dan dua kali haji dari usahanya itu.


Sanim (60) merupakan seorang pengusaha asal Desa Rawa Urip, Kecamatan Pangenan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Ia menjadi salah satu contoh warga yang berhasil keluar dari garis kemiskinan.

Dua usaha yang ia jalani saat ini ialah pabrik pembuatan garam dan pupuk organik. Namun, nama Sanim lebih dikenal sebagai pengusaha garam ketimbang pengusaha pupuk organik.

Sekarang Sanim punya 10 mobil, tiga di antaranya mobil pribadi tipe Daihatsu Taruna, Honda Jazz, dan mobil pertama ketika dia beli tahun 1997, yaitu Daihatsu Espass, bangga sekali saya saat itu. Sisanya mobil angkut produksi, seperti Fuso.

Adapun beberapa jenis garam yang diproduksi, ialah jenis garam grosok (garam non-yodium masih berbentuk butiran besar dan kasar, biasanya dipakai untuk budidaya dan pengawetan ikan), garam dapur (konsumsi), dan garam industri untuk pabrik tekstil.

Sementara jenis pupuknya, yakni organik tipe KCL (Kalium clorida), fungsinya meningkatkan unsur hara Kalium di dalam tanah budidaya.

Kemampuan produksi kedua pabriknya, Samin mengaku, dalam setahun mampu memproduksi masing-masing 2.000 ton baik garam maupun pupuk organik dengan penghasilan bersih minimal mencapai Rp 400 juta per tahun.

Menimba Ilmu Dari Pabrik Garam


Sanim menceritakan, pada awalnya ketika masih sebagai tukang becak, ia sering mangkal di perapatan Jalan Cirebon. Di tempatnya mangkal, berdiri sebuah pabrik garam yang cukup besar.

Sanim pun tertarik untuk melamar kerja di pabrik tersebut, dengan harapan nasibnya bisa lebih baik. Beruntung, Ia diterima bekerja di situ.

Setelah dua bulan bekerja, Sanim pun berpikir, di daerahnya kan punya potensi garam, lalu kenapa dia tidak bisa membuat garam sendiri.

Akhirnya, Sanim berhenti kerja dari pabrik garam tersebut. Di situlah Ia mulai berpikir, usaha garam ternyata mampu mengeruk keuntungan yang lebih besar dari buruh pabrik apalagi tukang becak.

Baginya, garam bukan hanya sebagai bumbu penyedap makanan, melainkan juga dibutuhkan untuk keperluan industri, pertanian, dan perikanan. Ternyata, tidak sia-sia pernah bekerja di pabrik garam. Jadi bisa dikatakan cuma nimba ilmu di pabrik tersebut.

Ilmu yang diperolehnya, ialah cara membuat garam krosok. Samin pun menggarap empang peninggalan orang tuanya yang berada di belakang rumah Sanim untuk mencoba membuat garam.

Lama-lama usahanya berkembang, sampai yang awalnya usaha di halaman belakang rumah, lalu berkembang dan bisa membeli tanah untuk tempat produksi yang lebih luas lagi, dan Sanim pun mampu mengantarkan keempat anaknya meraih gelar sarjana.

Petani garam umumnya memanfatkan empang atau kolam di dekat pantai. Caranya, dengan mengumpulkan air laut ke dalam empang. Lalu, dengan bantuan sinar matahari, air laut yang terkumpul tersebut akan menguap dan menghasilkan kristal-kristal bersenyawa Natrium klorida (NaCl).

Kristal NaCL itu dikumpulkan oleh petani, lalu dibersihkan berulang kali dari kotoran yang melekat hingga menjadi butiran halus dan kecil namun non-yodium.

Itu dulu, kini selain memproduksi sendiri garam krosok, Ia juga membelinya dari petani garam di sekitar Cirebon. Dengan kisaran harga beli sekitar Rp 400 per kilo gram.

Harga belinya murah disebabkan garam yang diterima masih sangat kotor dan berwarna hitam. Kemudian Ia cuci kembali dengan alat seadanya.

Akhirnya, Ia memutuskan untuk membeli alat pencuci khusus garam krosok seharga Rp 20 jutaan. Lebih efisien dan garam krosok bisa dibersihkan dengan cepat. Ia pun menjual garam itu ke industri, pertanian, dan perikanan. Di beberapa iklan promosi yang beredar di internet, harga jual garam krosok bersih bisa mencapai Rp 810.

Peralatan produksi garamnya pun masih menggunakan mesin tradisional. Menurutnya, ini warisan budaya setempat. Lagi pula. Ia menganggap, mesin tradisional lebih tahan lama dan tidak menimbulkan bising ketimbang mesin modern berbahan besi.

Mesin tradisional ini lah yang digunakan sanim, mengolah garam krosoknya menjadi garam beryodium dan bisa dikonsumsi oleh masyarakat.

Memanfaatkan KUR


Lambat laun, Sanim pun mulai berpikir untuk mengembangkan usaha lebih besar lagi dari yang Ia jalani sekarang. Pada 2010, ia memutuskan, menggunakan fasilitas Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang disediakan perbankan BUMD Jawa Barat, yakni Bank BJB (Bank Jabar Banten).

Sebelumnya, Ia hanya memanfaatkan jasa bilyet giro Bank BJB untuk bertransaksi dengan pembeli luar kota. "Kita pernah mengajukan utang pinjaman ke Bank BCA, tapi waktu itu ditolak. Setelah itu akhirnya kita ke bank BJB. setelah diproses dan melihat prospek perkembangan usaha kita, akhirnya kita dapat dana," katanya bercerita saat kesulitan memperoleh dana usaha.

Untuk menghasilkan 2.000 ton garam, paling tidak Sanim harus mengeluarkan biaya produksi sebesar Rp 1 miliar. Untuk itu, Ia sangat membutuhkan suntikan dana bank untuk memperlancar arus produksinya. Ia mengaku, tidak pernah mengalami kredit macet selama meminjam ke bank.

Bank BJB memberikan akses kemudahan bagi para pengusaha mikro melalui jalur KUR. Salah satu langkah BJB, ialah meluncurkan suatu program bernama 'Warung BJB'. Warung tersebut semacam bank keliling khusus untuk menyalurkan pembiayaan usaha mikro.

Kini, 430 Warung BJB tersebar di pasar-pasar tradional di beberapa wilayah Jawa Barat dan Banten. Khusus kredit (KUR) masih fokus di Jawa barat dan Banten. Ini karena untuk menyalurkan kredit, pihak Bank harus tahu dulu customernya.

Biasanya, pengusaha mikro yang datang ke BJB untuk mengajukan KUR, didiskusikan terlebih dahulu, bank pun bisa langsung mencairkan dananya. Asalkan pengusaha punya tempat usaha tetap.

Bank BJB memberi dana mulai paling kecil yankni Rp 2 juta hingga yang paling besar sampai Rp 50 juta. Begitu tumbuh, lalu akan dinaikan kembali levelnya sampai RP 100 juta. lalu begitu tumbuh lagi, dinaikan kembali level pinjamannya.


Rhenald Kasali Tentang Sanim

Guru Besar FEUI sekaligus penggiat Rumah Perubahan kewirausahaan Rhenald Kasali mengatakan, banyak sekali orang yang menjadi tukang becak selama 20 tahun dan bahkan hingga akhir hayatnya.

"Tapi Pak Sanim berubah, justru Pak Sanim melihat dirinya ada potensi. Dan sekarang Pak Salim menjadi pengusaha besar di bidang garam. Ketika sebagian besar orang justru ingin impor garam. Pak Sanim berkutat untuk menyelamatkan garam Indonesia.

Rhenald menyebut Sanim dan pengusaha mikro sejenis adalah para "Pengusaha kracking". Para pengusaha yang awalnya bukan dari kalangan keluarga pengusaha, namun mereka nekat keluar dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat pada umumnya. (kompas.com)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar