Selasa, 29 Mei 2012

Perlukah Ada Penyatuan Zona Waktu di Indonesia?


Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa memastikan bahwa Pemerintah Indonesia akan melakukan penyeragaman zona waktu. Indonesia akan memakai waktu Indonesia bagian tengah atau Wita.


Hatta memang menjadi menteri yang paling rajin mendorong adanya penyatuan zona waktu di Indonesia. Meski masih berupa wacana, namun riset terhadap penyamaan zona waktu di seluruh wilayah Indonesia sudah ada. Bahkan sudah dibahas di Komite Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) sejak Hatta masih menjabat sebagai Menteri riset dan teknologi (Menristek).

Terkait hal itu, Pemerintah akan melakukan sosialisasi dalam waktu dekat. Perencanaan detail terkait penyeragaman zona waktu akan dibahas dalam rapat kabinet paripurna. Sebelumnya, Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Prasarana Wilayah Kementerian Koordinator Perekonomian Luky Eko Wuryanto mengatakan, penyatuan zona waktu yang setara dengan GMT+8 atau delapan jam lebih cepat dari standar waktu internasional di Greenwich ini memiliki dampak ekonomi.

Langkah ini akan mempercepat pertumbuhan ekonomi di Indonesia karena aktivitas ekonomi bisa dilakukan lebih dini setiap harinya. Salah satu manfaat yang jelas antara lain perdagangan di Bursa Efek Indonesia dan Bursa Komoditi Berjangka Indonesia akan lebih cepat dibuka dibandingkan dengan Singapura dan Malaysia. Ini diharapkan akan menambah transaksi perdagangan Rp 500 miliar sehari atau Rp 20 triliun dalam setahun.

Namun menurut mantan Wapres Jusuf Kalla, Alasan Pemerintah bahwa penyatuan waktu akan membuat roda ekonomi lebih produktif dianggap tak berdasar. AS dengan 9 zona waktu dan Australia 3 zona waktu tetap produktif tanpa disatukan zona waktu.


Menurut JK, penyatuan zona waktu juga tidak ada hubungannya dengan perdagangan. Sebab sampai saat ini dengan berbagi macam zona waktu di dunia, perdagangan juga lancar-lancar saja.

Penyatuan zona waktu juga justru menimbulkan pemborosan energi. Sebab hampir 200 juta jiwa masyarakat di wilayah barat harus menyesuaikan satu jam lebih awal. Artinya ketika bangun masih gelap dan mereka akan mulai menyalakan listrik lebih dulu.

JK juga membantah pengubahan waktu memperbaiki kinerja pasar modal. Sebab menurut dia, pasar modal di berbagai belahan dunia sampai saat ini juga memiliki jam pembukaan pasar yang berbeda-beda. Perbaikan kinerja itu ya berdasarkan kinerja perusahaan yang listing di pasar modal.

Ia menambahkan, bila memang pasar modal ingin memiliki waktu yang disamakan dengan Singapura, maka tidak seharusnya mengorbankan 200 juta jiwa penduduk Indonesia untuk mengubah ritme hidupnya dengan menyatukan zona waktu. Solusinya gampang, ya ajukan saja jam pembukaan pasar menjadi jam 08.00, jadi hanya 2.000 orang yang bekerja di pasar modal yang bangun lebih dulu. Jangan pasar modal menjajah orang dong, karena kepentingan pasar modal masak 200 juta orang susah.


Zona waktu sebenarnya menyesuaikan keseimbangan alam. Bila jam 06.00 di daerah tropis memang seharusnya matahari terbit, begitu pula pukul 12.00 matahari berada di tengah-tengah dan pukul 06.00 malam, saat matahari tenggelam.

Untuk itu, berdasarkan letak geografis dengan rentang panjang wilayah Indonesia mencapai 5.000 km maka sangat tidak logis untuk menyatukan zona waktu melihat kondisi alam. Di seluruh dunia, tidak ada negara dengan rentang panjangnya 5.000 km memiliki satu zona waktu kecuali hanya China, itu pun karena keputusan partai komunis China pada 1949 untuk mengontrol kekuasannya, jadi alasan politik kekuasaan.

Indonesia, pada 1942, pernah dilakukan penyatuan zona waktu oleh penjajah Jepang. Hal ini oleh Penjajah Jepang guna menyamakan waktu penghormatan kepada Kaisar Jepang pada pukul 12.00. "Apa kita mau kembali ke masa Jepang," tanyanya.

Sumber:
http://finance.detik.com
http://centroone.com




Tidak ada komentar:

Posting Komentar